aku

Jumat, 22 Juni 2012

Soekarno, sejarah yang tak memihak. part 2


Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soejarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

. Saya membayangkan sebuah bangsa yang menjadi kerdil dan munafik. Apakah jejak sejarah tak pernah mengajarkan kejujuran ketika justru manusia merasa bisa meniupkan roh roh kebenaran ? Kisah tragis ini tidak banyak diketahui orang. Kesaksian tidak pernah menjadi hakiki karena selalu ada tabir tabir di sekelilingnya yang diam membisu. Selalu saja ada korban dari mereka yang mempertentangkan benar atau salah.
Butuh waktu bagi bangsa ini untuk menjadi arif.
         Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh ontrovers. Banyak yang menyayanginya, banyak pula yang membencinya, namun semua sepakat seoekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu di lahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.
Selamat jalan bapak, you are the best father an pemimpin yang pernak kami miliki.
Kesadaran adalah Matahari
Kesabaran adalah Bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Perjuangan adalah pelaksanaan kata kata
 ( WS. Rendra)

Soekarno, sejarah yang tak memihak.


Majukan bangsamu dengan mengenal para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan bangsamu.mempelajari alur pemikiran mereka. Meneladani sikap, tingkah laku, keputusan dan tindakan mereka yang membawa dampak baik bagi bangsa. ( SOEKARNO)

Kemerdekaan memang tidak membawa kita bebas dari persoalan namun dengan kemerdekaan, kita mempunyai kesempatan  untuk menyelesaikan segala persoalan dengan kemampuan kita. (SOEKARNO).

Jadikan deritaku ini sebagai sebuah kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden  sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekusaan rakyat dan diatas segalanya adalah kekuasaan tuhan yang maha esa. (SOEKARNO).

Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir. Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya
sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa—dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Jelang Wafat
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar. Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.
“Hatta.., kau di sini..?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.
“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.
Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…” Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.
Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.