aku

Senin, 02 Juni 2014

Pemikiran Arnold J Toynbee



Sekilas Tentang Toynbee
Toynbee yang bernama lengkap Arnold Joseph Toynbee lahir di London, Inggris pada tanggal 14 April tahun 1889. Ia merupakan sejarawan besar yang menulis buku monumental yang mengulas tentang peradaban manusia, A Study of history sejumlah 12 jilid antara tahun 1934-1961 yang menuliskan tentang sebuah metahistory yang ada dalam peradaban yang mencakup kemunculan, pertumbuhan dan kehancurannya. Toynbee merupakan kemenakan dari seorang sejarawan terkenal Arnold Toynbee, di mana namanya dengan sang paman sering salah digunakan karena kemiripan nama. Dia menamatkan studinya di Winchester College dan Baliol College di Oxford Inggris kemudian pada British Archaeological School di Athena Yunani. Ia memulai karir sebagai pengajar di Balliol pada tahun 1912, dan kemudian menjadi pengajar di King’s College, London kemudian sebagai Profesor sejarah Modern Yunani dan Binzantium, menjadi guru besar sejarah internasional di Universitas London pada 1925-1946, serta pada London School Economics dan di Royal Institute of International Affairs (RIIA) di Chatam House. Kemudian ia menjadi pemimpin dari RIIA pada tahun 1925-1955 (Ekayati, 1996). Dia bekerja pada departemen Ilmu Pengetahuan di Departemen Luar Negeri Inggris dan pada saat perang dunia pertama berlangsung dan kemudian menjadi delegasi pada Paris Peace Conference pada tahun 1919 dan pada 1946 menjadi delegasi untuk acara yang sama. Bersama dengan asisten penelitinya, Veronica M. Boulter, yang kemudian nantinya menjadi istri keduanya, dia menjadi co-editor Survey of International Affairs yang diadakan RIIA. Pada saat perang dunia kedua, dia kembali bekerja di departemen luar negeri dan menjadi pembicara pada seminar tentang perdamaian.



Pemikiran toynbee tentang peradaban adalah bahwa peradaban selalu mengikuti alur mulai dari kemunculan sampai kehancuran. Teori Toynbee ini senada dengan hukum siklus. Artinya ada kelahiran, pertumbuhan, kematian, kemudian disusul dengan kelahiran lagi, dan seterusnya. Pemikiran Toynbee ini senada dengan teori yang berkembang di Yunani pada masa pra-Socrates.
Mengacu pada pemikiran Toynbee tentang terbentuknya gereja universal, munculnya penyelamat atau Al Mahdi, pernyataan bahwa peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama, dan fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan maka secara tidak langsung pemikiran ini senada dengan pemikiran para pemikir patristik, seperti St Augustinus. Lebih lanjut lagi Toynbee menyatakan bahwa keruntuhan kebudayaan bisa dihentikan. Upaya menghentikan keruntuhan kebudayaan/peradaban yang mungkin berhasil ialah dengan penggantian segala norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan (Ali, 1961:85-87). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa dengan penggantian itu, tampaklah pula tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan, atau dengan bahasan yang lebih konkret adalah Kerajaan Allah. Mengenai pandangan ini Ali menyatakan bahwa teori Toynbee merupakan muara teori Augustinus, yatu Civitas Dei (Purnomo, 2003:38; Ali, 1961:85-87).
Dari sekian banyak karya dari Toynbee, baik sebagai penulis utama, kontributor, editor, translator, serta pemberi kata pengantar dan pendahuluan, karya yang paling monumental dari Toynbee adalah bukunya yang ditulis mulai dari tahun 1930-an sampai tahun 1961, yaitu A Study of History. Buku ini terdiri dari 12 jilid, yang masing-masing jilid menerangkan tahapan dalam peradaban mulai dari kemunculan, pertumbuhan, dan kehancuran.
Konsep Peradaban Toynbee
Toynbee membagi sejarah dunia dalam 26 peradaban. Dari jumlah peradaban itu 16 telah musnah, tiga lebur, sementara itu 7 lainnya masih bertahan. Ketujuh peradaban itu kemudian dikombinasikan menjadi lima, yaitu (1) Peradaban Barat, (2) Kristen Ortodoks, termasuk Eropa Tenggara, (3) Islam, (4) Hindu, dan (5) Timur Jauh, termasuk di dalamnya Cina, Jepang, dan Korea (Ekayati, 1996). Pembagian sejarah ini yang mendasari dilakukannya kajian tentang peradaban dalam bukunya, A Study of History. Peradaban-peradaban yang menjadi kajian dari Toynbee adalah Mesir, Andean, Sinic, Minoan, Sumeria, Maya, Indic, Hittite, Hellenik, Peradaban Barat, Kristen Kaum ortodox di Rusia dan Eropa, Cina dan timur jauh (Korea/Jepang),Iran, Arab, Hindu, Mexic, Yucatek, dan Babylonia. Selainj itu ada empat 'abortif civilisations' ( Kristen Barat Jauh, Kristen timur Jauh, Syriac, dan Scandinavia) dan lima peradaban yang bertahan (arrested civilization) yaitu Polinesia, Eskimo, Nomadic, ottoman, dan Spartan. Dari sekian peradaban yang ditelitinya total ada tiga puluh peradaban.
Dalam mengaji peradaban itu, Toynbee melakukan pendekatan yang sama (Sztompka, 2004:173-174). Ia dengan detail mengulas tentang asal usul, pertumbuhan, kemuduran, status universal, dan disintegrasi. Ia membuat generalisasi berdasarkan semua bukti historis yang pernah tercatat. Menurutnya, unit studi sejarah yang tepat bukan keseluruhan umat, bukan pula satu negara-bangsa tertentu tetapi adalah “unit menengah” yang rentangan ruang dan waktunya lebih besar daripada sebuh masyarakat tertentu tetapi lebih kecil daripada kemanusiaan, yakni peradaban. Gagasan tentang adanya keunikan atau potensi dominan dalam setiap peradaban muncul kembali. Contohnya, estetika dalam peradaban Hellenis; agama dalam peradaban Hindu; ilmu dan teknologi dalam peradaban Barat.
Toynbee melihat gejala peradaban sebagai sebuah siklus. Dalam pandangan ini peradaban, seperti halnya riwayat organisme hidup, mengalami tahap-tahap kelahiran, tumbuh dewasam dan runtuh. Dalam proses perputaran itu sebuah peradaban tidak selalu berakhir dengan kemusnahan total. Terdapat kemungkinan bahwa proses itu berulang, meskipun dengan corak yang tidak sepenuhnya sama dengan peradaban yang mendahuluinya (Rahardjo, 2002:5-12). Toynbee menyatakan bahwa peradaban peradaban baru yang menggantikannya itu dapat mencapai prestasi melebihi peradaban yang digantikannya. Lebih lanjut lagi bagi Toynbee peradaban adalah suatu rangkaian siklus kehancuran dan pertumbuhan, tetapi setiap peradaban baru yang kemudian muncul dapat belajar dari kesalahan-kesalahan dan meminjam kebudayaan dari tempat lain. Dengan demikian, memungkinkan setiap siklus baru memunculkan tahap pencapaian yang lebih tinggi. Ini berarti setiap siklus dibangun di atas peradaban yang lain (Rahardjo, 2002:5-12).
Toynbee membagi pentahapan ke dalam tiga periode utama, yaitu geneses, growth, dan breakdown. Namun karena Toynbee memberikan perhatian paling besar pada periode ketiga, maka bagian ini masih disambung lagi dengan tahap-tahap disintegrations, universal states, universal churches, dan heroic ages, yang menandai akhir suatu siklus dan awal siklus baru. Disamping itu Toynbee dalam bukunya A Study of History masih menambahkan aspek-aspek lain dari gejala peradaban, yakni contacs between civilization in space, dan contact between ciivlization in time.
Peradaban bagi Toynbee bermula ketika manusia mampu menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras kemudian berhasil juga dalam menjawab tantangan lingkungan sosial. Pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika tantangan tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi tantangan berikutnya. Kriteria pertumbuhan itu tidak diukur dari kemampuan manusia mengendalikan lingkungan fisik (misalnya melalui teknologi), atau pengendalian lingkungan sosial (misalnya melalui penaklukan), melainkan diukur dari segi peningkatan kekuatan yang berasal dari dalam diri manusia, yakni semangat yang kuat (self determination) untuk mengatasi rintangan-rintangan eksternal. Dengan kata lain, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan spiritual (Rahardjo, 2002:5-12).
Mengapa peradaban bisa muncul? Pertanyaaan itulah yang mengawali pemikiran Toynbee tentang munculnya peradaban. Pada mulanya ia berpikiran bahwa faktor gen dalam ras dan kondisi lingkungan fisiklah yang menjadi landasan utama munculnya peradaban. Akan tetapi pada akhirnya pemikiran tesebut digugurkannya sendiri. Tidak ada ras yang superior dan tidak ada lingkungan fisik yang benar-benar menciptakan peradaban dalam sendirinya. Hal ini dikarenakan ras dan lingkungan fisik hanya bersifat membantu perkembangan peradaban (Lauer, 2001:49-57).
Peradaban muncul karena dua faktor yang berkaitan: adanya minoritas kreatif dan kondisi lingkungan. Antara keduanya tak ada yang terlalu menguntungkan atau terlalu merugikan bagi pertumbuhan kultur. Mekanisme kelahiran dan dinamika kelangsungan hidup kultur dijelmakan dalam konsep tantangan dan tanggapan (challange and response). Lingkungan (mula-mula alamiah, kemudian juga sosial) terus menerus menantang masyarakat, dan masyarakat melalui minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan itu. Segera setelah itu tantangan ditanggapi, muncul tantangan baru dan diikuti oleh tanggapan berikutnya (Sztompka, 2004:173-174).
Toynbee memperkenalkan sejarah dalam kaitan dengan challenge-and-response. Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan kesukaran ekstrim, ketika "minoritas kreatif" yang mengorientasikan kembali keseluruhan masyarakat. Minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau bahkan individu yang memiliki "self-determining" (kemampuan untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat). Dengan adanya minoritas kreatif, sebuah kelompok manusia akan bisa keluar dari masyarakat primitif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar