Sekilas Tentang Toynbee
Toynbee yang bernama lengkap Arnold Joseph Toynbee lahir
di London, Inggris pada tanggal 14 April tahun 1889. Ia merupakan sejarawan
besar yang menulis buku monumental yang mengulas tentang peradaban manusia, A
Study of history sejumlah 12 jilid antara tahun 1934-1961 yang menuliskan
tentang sebuah metahistory yang ada dalam peradaban yang mencakup
kemunculan, pertumbuhan dan kehancurannya. Toynbee merupakan kemenakan dari
seorang sejarawan terkenal Arnold Toynbee, di mana namanya dengan sang paman
sering salah digunakan karena kemiripan nama. Dia menamatkan studinya di
Winchester College dan Baliol College di Oxford Inggris kemudian pada British Archaeological School di Athena Yunani. Ia
memulai karir sebagai pengajar di Balliol pada tahun 1912, dan kemudian menjadi
pengajar di King’s College, London kemudian sebagai Profesor sejarah Modern
Yunani dan Binzantium, menjadi guru besar sejarah
internasional di Universitas London pada 1925-1946, serta pada London
School Economics dan di Royal Institute of International Affairs (RIIA)
di Chatam House. Kemudian ia menjadi pemimpin dari RIIA pada tahun 1925-1955
(Ekayati, 1996). Dia bekerja pada departemen Ilmu Pengetahuan di Departemen
Luar Negeri Inggris dan pada saat perang dunia pertama berlangsung dan kemudian
menjadi delegasi pada Paris Peace Conference pada tahun 1919 dan pada
1946 menjadi delegasi untuk acara yang sama. Bersama dengan asisten
penelitinya, Veronica M. Boulter, yang kemudian nantinya menjadi istri
keduanya, dia menjadi co-editor Survey of International Affairs yang
diadakan RIIA. Pada saat perang dunia kedua, dia kembali bekerja di departemen
luar negeri dan menjadi pembicara pada seminar tentang perdamaian.
Pemikiran toynbee tentang peradaban adalah bahwa
peradaban selalu mengikuti alur mulai dari kemunculan sampai kehancuran. Teori
Toynbee ini senada dengan hukum siklus. Artinya ada kelahiran, pertumbuhan,
kematian, kemudian disusul dengan kelahiran lagi, dan seterusnya. Pemikiran
Toynbee ini senada dengan teori yang berkembang di Yunani pada masa
pra-Socrates.
Mengacu pada pemikiran Toynbee tentang terbentuknya
gereja universal, munculnya penyelamat atau Al Mahdi, pernyataan bahwa
peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama, dan fungsi historis peradaban
adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan maka secara tidak
langsung pemikiran ini senada dengan pemikiran para pemikir patristik, seperti
St Augustinus. Lebih lanjut lagi Toynbee menyatakan bahwa keruntuhan kebudayaan
bisa dihentikan. Upaya menghentikan keruntuhan kebudayaan/peradaban yang
mungkin berhasil ialah dengan penggantian segala norma-norma kebudayaan dengan
norma-norma ketuhanan (Ali, 1961:85-87). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa
dengan penggantian itu, tampaklah pula tujuan gerak sejarah ialah kehidupan
ketuhanan, atau dengan bahasan yang lebih konkret adalah Kerajaan Allah.
Mengenai pandangan ini Ali menyatakan bahwa teori Toynbee merupakan muara teori
Augustinus, yatu Civitas Dei (Purnomo, 2003:38; Ali, 1961:85-87).
Dari sekian banyak karya dari Toynbee, baik
sebagai penulis utama, kontributor, editor, translator, serta pemberi kata
pengantar dan pendahuluan, karya yang paling monumental dari Toynbee adalah
bukunya yang ditulis mulai dari tahun 1930-an sampai tahun 1961, yaitu A
Study of History. Buku ini terdiri dari 12 jilid, yang masing-masing jilid
menerangkan tahapan dalam peradaban mulai dari kemunculan, pertumbuhan, dan
kehancuran.
Konsep Peradaban Toynbee
Toynbee membagi sejarah dunia dalam 26
peradaban. Dari jumlah peradaban itu 16 telah musnah, tiga lebur, sementara itu
7 lainnya masih bertahan. Ketujuh peradaban itu kemudian dikombinasikan menjadi
lima, yaitu (1) Peradaban Barat, (2) Kristen Ortodoks, termasuk Eropa Tenggara,
(3) Islam, (4) Hindu, dan (5) Timur Jauh, termasuk di dalamnya Cina, Jepang,
dan Korea (Ekayati, 1996). Pembagian sejarah ini yang mendasari dilakukannya
kajian tentang peradaban dalam bukunya, A Study of History.
Peradaban-peradaban yang menjadi kajian dari Toynbee adalah Mesir, Andean, Sinic, Minoan, Sumeria,
Maya, Indic, Hittite, Hellenik, Peradaban Barat, Kristen Kaum ortodox di Rusia
dan Eropa, Cina dan timur jauh (Korea/Jepang),Iran, Arab, Hindu, Mexic,
Yucatek, dan Babylonia. Selainj itu ada empat 'abortif civilisations' (
Kristen Barat Jauh, Kristen timur Jauh, Syriac, dan Scandinavia) dan lima
peradaban yang bertahan (arrested civilization) yaitu Polinesia, Eskimo,
Nomadic, ottoman, dan Spartan. Dari sekian peradaban yang ditelitinya total ada
tiga puluh peradaban.
Dalam mengaji peradaban itu, Toynbee
melakukan pendekatan yang sama (Sztompka, 2004:173-174). Ia dengan detail
mengulas tentang asal usul, pertumbuhan, kemuduran, status universal, dan
disintegrasi. Ia membuat generalisasi berdasarkan semua bukti historis yang
pernah tercatat. Menurutnya, unit studi sejarah yang tepat bukan keseluruhan
umat, bukan pula satu negara-bangsa tertentu tetapi adalah “unit menengah” yang
rentangan ruang dan waktunya lebih besar daripada sebuh masyarakat tertentu
tetapi lebih kecil daripada kemanusiaan, yakni peradaban. Gagasan tentang
adanya keunikan atau potensi dominan dalam setiap peradaban muncul kembali.
Contohnya, estetika dalam peradaban Hellenis; agama dalam peradaban Hindu; ilmu
dan teknologi dalam peradaban Barat.
Toynbee melihat gejala peradaban sebagai sebuah siklus.
Dalam pandangan ini peradaban, seperti halnya riwayat organisme hidup,
mengalami tahap-tahap kelahiran, tumbuh dewasam dan runtuh. Dalam proses
perputaran itu sebuah peradaban tidak selalu berakhir dengan kemusnahan total.
Terdapat kemungkinan bahwa proses itu berulang, meskipun dengan corak yang
tidak sepenuhnya sama dengan peradaban yang mendahuluinya (Rahardjo,
2002:5-12). Toynbee menyatakan bahwa peradaban peradaban baru yang
menggantikannya itu dapat mencapai prestasi melebihi peradaban yang
digantikannya. Lebih lanjut lagi bagi Toynbee peradaban adalah suatu rangkaian
siklus kehancuran dan pertumbuhan, tetapi setiap peradaban baru yang kemudian
muncul dapat belajar dari kesalahan-kesalahan dan meminjam kebudayaan dari
tempat lain. Dengan demikian, memungkinkan setiap siklus baru memunculkan tahap
pencapaian yang lebih tinggi. Ini berarti setiap siklus dibangun di atas
peradaban yang lain (Rahardjo, 2002:5-12).
Toynbee membagi pentahapan ke dalam tiga periode utama,
yaitu geneses, growth, dan breakdown. Namun karena Toynbee
memberikan perhatian paling besar pada periode ketiga, maka bagian ini masih
disambung lagi dengan tahap-tahap disintegrations, universal states,
universal churches, dan heroic ages, yang menandai akhir suatu
siklus dan awal siklus baru. Disamping itu Toynbee dalam bukunya A Study of
History masih menambahkan aspek-aspek lain dari gejala peradaban, yakni contacs
between civilization in space, dan contact between ciivlization in time.
Peradaban bagi Toynbee bermula ketika manusia mampu
menjawab tantangan lingkungan fisik yang keras kemudian berhasil juga dalam
menjawab tantangan lingkungan sosial. Pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika
tantangan tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi
tantangan berikutnya. Kriteria pertumbuhan itu tidak diukur dari kemampuan
manusia mengendalikan lingkungan fisik (misalnya melalui teknologi), atau
pengendalian lingkungan sosial (misalnya melalui penaklukan), melainkan diukur
dari segi peningkatan kekuatan yang berasal dari dalam diri manusia, yakni
semangat yang kuat (self determination) untuk mengatasi
rintangan-rintangan eksternal. Dengan kata lain, kekuatan yang mendorong
pertumbuhan itu bersifat internal dan spiritual (Rahardjo, 2002:5-12).
Mengapa peradaban bisa muncul? Pertanyaaan
itulah yang mengawali pemikiran Toynbee tentang munculnya peradaban. Pada
mulanya ia berpikiran bahwa faktor gen dalam ras dan kondisi lingkungan
fisiklah yang menjadi landasan utama munculnya peradaban. Akan tetapi pada
akhirnya pemikiran tesebut digugurkannya sendiri. Tidak ada ras yang superior
dan tidak ada lingkungan fisik yang benar-benar menciptakan peradaban dalam
sendirinya. Hal ini dikarenakan ras dan lingkungan fisik hanya bersifat
membantu perkembangan peradaban (Lauer, 2001:49-57).
Peradaban muncul karena dua faktor yang berkaitan: adanya
minoritas kreatif dan kondisi lingkungan. Antara keduanya tak ada yang terlalu
menguntungkan atau terlalu merugikan bagi pertumbuhan kultur. Mekanisme
kelahiran dan dinamika kelangsungan hidup kultur dijelmakan dalam konsep
tantangan dan tanggapan (challange and response). Lingkungan (mula-mula
alamiah, kemudian juga sosial) terus menerus menantang masyarakat, dan
masyarakat melalui minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan itu.
Segera setelah itu tantangan ditanggapi, muncul tantangan baru dan diikuti oleh
tanggapan berikutnya (Sztompka, 2004:173-174).
Toynbee memperkenalkan sejarah dalam kaitan dengan challenge-and-response.
Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan kesukaran
ekstrim, ketika "minoritas kreatif" yang mengorientasikan kembali
keseluruhan masyarakat. Minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau
bahkan individu yang memiliki "self-determining" (kemampuan
untuk menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang
kuat). Dengan adanya minoritas kreatif, sebuah kelompok manusia akan bisa
keluar dari masyarakat primitif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar